Malam ini, Lica berjalan kaki seorang diri menelusuri jalan perumahan tempatnya tinggal. Ia hanya ingin menghirup udara dan membeli ice cream. Hanya makanan manis yang bisa membuat suasana hatinya merasa lebih baik setelah semua yang terjadi hari ini.
Terlebih kala Audi berkata demikian dengan membawa kelemahannya yaitu, Papa. Memang salah jika tidak memiliki Papa? itulah yang ada dipikirannya saat ini. Kehilangan Papa untuk selamanya bukanlah keinginan Lica. Andaikan Lica bisa memilih ia akan pilih untuk hidup selamanya bersama Mama dan Papa.
Selama ini Lica selalu takut bila perkataan atau perbuatannya menyakiti orang lain. Maka Lica menjadi berpikir apakah dirinya pernah menyakiti Audi sampai Audi berlaku demikian?
Jalan aspal yang dipijaknya sedikit lembab akibat hujan yang turun di sore tadi, tapi tidak membuat Lica berhenti berjalan hingga ia tiba di mini market depan komplek yang jaraknya lumayan jauh dari tempat tinggalnya. Mungkin butuh sekitar 10 menit jika ditempuh berjalan kaki.
Lica terlalu fokus berjalan hingga dirinya tak melihat lubang selokan di depan sana. Tubuhnya sedikit terkejut akibat tarikan seseorang yang menghindari dirinya dari lobang tersebut.
“Awas jatuh, kalau jalan jangan bengong.”
Lica menoleh setelah mendengar suara yang dikenalinya. “Kalio, lo ngapain??” ujar Lica ketika melihat Kalio yang sudah berdiri disampingnya dengan hoodie abu dan celana pendek yang dikenakannya.Keringat mulai bercucuran didahinya, sepertinya Kalio baru saja berlari.
“Habis dari mini market depan.” katanya. “Lo mau kemana? Gue chat kenapa nggak di bales?”
“Nggak bawa HP.”
Keduanya berjalan beriringan dengan tempo pelan, Kalio hanya mengikuti gadis itu melangkah. Gadis di sampingnya yang bahkan tak menolehkan kepala ke arahnya, ia hanya fokus ke depan dan sesekali menendang kerikil-kerikil kecil.
Caca sedih. Batin Kalio.
Kalio meronggoh saku hoodienya kemudian mengambil sesuatu yang sempat ia beli sebelum menghampiri Lica. Dengan kesadaran penuh ia memberikan satu bungkus Ice Cream Ikan untuk Lica. Tentu saja itu Ice cream kesukaan Lica.
Melihat ada ice cream dihadapannya, Lica lantas mengerutkan dahi dan langkahnya semakin pelan. “Buat gue?” tanyanya.
Tanpa ragu Kalio menganggukan kepalanya, “Iya.”
“Kapan belinya?”
“Tadi kan gue bilang habis dari mini market.” jelasnya, “Lo mau kemana Caca jalan kaki jam segini?”
“Jalan aja, beli Ice cream.”
“Tumben nggak nyamper gue.”
“Lagi mau sendiri.”
Tanpa aba-aba Kalio menarik pergelangan tangan Lica dan mengajak gadis itu pergi memutar arah dari arah tujuannya. Ia memutuskan untuk membawa Lica ke taman yang letaknya tak jauh dari keberadaan mereka sebelumnya.
“Capek, mending duduk dulu.” Kata Kalio. “Udah dapet ice creamnya kan? jadi nggak perlu ke mini market lagi.”
“Ish, gue mau sendirian tau! Dasar pengganggu!” sebal Lica tetapi ia turut mengikuti Kalio yang sudah duduk lebih dulu. Dengan kekesalan dirinya, ia pun membuka ice cream yang tadi Kalio berikan.
“Ada gue, kenapa pilih sendirian?” Timpal kalio atas perkataannya tadi.
“Ya… suka-suka!”
Hening antara keduanya hanya ada Lica yang menikmati ice cream ikan dengan raut wajah yang sedih. Penglihatan Kalio jelas menangkap itu semua. Hampir 12 tahun mengenal Lica, bukan suatu hal sulit untuk Kalio memahami apakah gadis itu sedang baik atau tidak. Kalio memberi Lica waktu untuk menikmati ice cream tersebut berharap Lica menjadi sedikit membaik.
Lica menoleh, “Kenapa liatin gitu?”
“Kepedean, mau banget gue liatin.” sahut Kalio, “Lo makan ice cream kaya anak kecil berantakan tuh.”
Dengan cepat Lica membersihkan sekitar bibir dan pipinya.
“Kal,” Panggil Lica. “Apa gue mundur aja dari festival SMANDU?”
“Kenapa?” tanya Kalio tidak suka dengan pertanyaan yang dilontarkan Lica.
“Nggak apa-apa. Setelah dipikir benar juga buat apa ya… nanti Papa nggak lihat. Mama juga belum tentu dateng.”
“Ca,” Kali ini Kalio yang memanggil.
“Apa?”
“Di dunia ini lo suka apa?”
“Martabak, Ice cream ikan, dan makanan manis.”
“Lo tau nggak Ca, makan manis itu jahat buat sebagian orang?” tanya Kalio sembari membenarkan duduknya untuk sepenuhnya berhadapan dengan Lica.
“Tau, tapi gue nggak peduli soalnya buat sebagian orang makan manis bisa buat seneng juga kok contohnya bisa balikin mood kalo lagi nggak baik-baik aja.”
“ That’s Point.” ujar Kalio sembari membunyikan ibu jarinya.
“Maksudnya?”
“Lo harus menerapkan itu di kehidupan, Ca. Cukup lakukan apa yang lo suka tanpa perlu peduliin orang lain. Nggak selamanya lo harus ngertiin keadaan orang lain untuk mengorbankan apa yang lo suka.”
Lica terdiam.
“Hampir 12 tahun gue kenal lo, nggak pernah ada ruang di mana gue membenarkan diri lo untuk ngalah dalam semua hal. Lo berhak dapetin apa yang udah lo dapat, lo nggak perlu mundur untuk orang lain yang bahkan dia cuma buat lo terlihat jahat saat lo nggak mau mundur.”
“Gue nggak tau apa yang udah Audi bilang ke lo, tapi gue mohon banget untuk nggak perlu masukin ke hati. Dia bisa bilang kaya gitu karena dia merasa nggak mampu jadi kaya lo.”
Lica diam membisu, keresahannya sejak tadi ditangkas oleh perkataan Kalio malam ini. Ia tidak menanggapi Kalio tetapi ia sibuk menerapkan semua hal yang Kalio katakan. Sebenarnya Lica sempat terkejut ketika Kalio menyebutkan nama Audi. Mengapa Kalio bisa tau bahwa Audi yang sudah membuatnya seperti ini? Lica memutuskan untuk bungkam dan tidak mempertanyakan itu karena yang ia butuhkan sekarang hanyalah kalimat penenang yang beberapa detik lalu Kalio ucapkan.
“Semoga lo ngerti maksud gue.” lanjut Kalio, “Nggak ada Mama Papa yang lihat lo nanti, lo nggak perlu khawatir. Masih ada Mama Papa gue, Yuan, Gibran, teman-teman lain…”
“… dan masih ada gue.”