Untuk kali ini, perihal berkumpul dengan Club Futsal Kalio tidak berbohong ataupun semata-mata hanya bersandiwara supaya bisa menunggu Lica pulang.
Mungkin sudah 15 menit berlalu sejak teman-temannya pulang lebih dulu, menyisakan Kalio yang masih setia berada di parkiran. Ia hanya bolak-balik seperti orang cemas, tetapi ia tak paham mengapa dirinya cemas. Sudah berkali-kali Kalio melirik jam di ponselnya lalu kembali memasukkan kembali ponsel itu ke dalam saku celananya. Sesekali ia juga membuka aplikasi chat barangkali ada pesan masuk yang ia tunggu kabarnya.
Waktu terus berlalu, tanda-tanda gadis yang ia tunggu kabarnya juga belum terlihat hilalnya. Beberapa menit lalu Kalio tidak paham mengapa dirinya cemas, namun detik ini Kalio mulai sadar. Sebenarnya, Kalio hanya malu mengakui bahwa yang ia cemaskan sejak tadi adalah Lica. Ia takut kalau Lica akan datang dengan raut kegagalan dan kekecewaan. Raut wajah yang sangat Kalio benci dan tidak ingin dilihatnya pada wajah Lica.
Kalio masih mengingat jelas semua kalimat yang pernah Lica ucapkan kepadanya. Saat itu, Lica pernah berkata, “Nggak papa kalau nggak ke pilih, gue tetap seneng kok udah pernah coba.” kalimat itu diucapkannya dengan riang diikuti senyum yang membuat matanya melengkung seperti bulan sabit. Meski terlihat tidak ada masalah dari ekspresinya, tetapi Kalio paham kalau sebenarnya isi hati gadis itu sangat mengharapkan mimpinya menjadi kenyataan.
Sinar matahari menyorot dirinya lewat perantara kaca spion. Meski agak silau, Kalio tak sengaja menangkap pantulan dirinya dari kaca kemudian ia tertawa, “Kal, lo kenapa anjir cemas nggak jelas begini?” ujarnya kepada diri sendiri.
“Aneh.”
“Sumpah lo aneh, Kal.”
“Fix, gue udah jadi orang aneh kebanyakan bergaul sama Lica, Gibran, Praga. Pasti ketularan mereka!” katanya kesal. “Iya betul, ketularan virus mereka.” Ia benar-benar layaknya orang aneh yang berbicara sendiri.
Segera ia memutar kaca spion itu agar tidak menyorot dirinya lagi. Karena ia pun turut kesal melihat wajahnya sendiri. Kaca spion tidak salah, tapi tetap akan Kalio salahkan.
Dari sebrang antara parkiran sekolah dengan tempat fotocopy, Kalio melihat gerobak biru yang terdapat tulisan ‘TELUNGCUY (Telur Gulung Cihuy)’ melintas di sana. Tanpa pikir lama ia segera menyebrang jalan dan menghampiri penjual UMKM itu.
Sesampainya di depan tukang Telur Gulung, sang penjual menyambut Kalio dengan ramah karena penjual itu tersenyum lebar hingga memperlihatkan deretan giginya yang ompong dibagian tengah, “Telung, A?” tanyanya.
Kalio mengangguk sopan membenarkan pertanyaan penjual tersebut bahwa ia memang akan membelinya. Karena dipanggil dengan sebutan ‘A’ Kalio berpikir bahwa penjual itu adalah orang sunda yang kemungkinan akan ia panggil Mamang.
“Siap. Mau berapa tusuk, A?”
“Lima boleh, Mang?” tanya Kalio.
“Yaaaa boleh atuh, masa orang mau beli nggak boleh.” jawab si mamang tukang Telur Gulung seraya bergurau seperti pedagang pada umumnya yang selalu ramah pada pembelinya. “Selain kasep ternyata si Aa lucu juga.” sambungnya.
Kalio menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal sama sekali, ia hanya menghilangkan canggung lalu tersenyum kaku dan terkekeh, “Sepuluh aja Mang.”
Si mamang tukang Telur Gulung tertawa sambil geleng-geleng. “Marketing saya berhasil juga.”
“Si mamang bisa aja.” ujar Kalio. Jujur Kalio tidak bohong, penjualnya memiliki tingkat humor yang masuk dengannya jadi Kalio cuma bisa cengengesan.
“Jam segini belum pulang?”
“Lagi nunggu temen.”
“Cewek ya...” Kalio terkejut karena si mamang yang tiba-tiba menggodanya bahkan alisnya naik turun turun menggoda agar Kalio berkata iya.
“Kok tau?” cuma itu yang dapat keluar dari bibirnya dan ia sesali kenapa refleks berkata itu, padahal bukan itu yang mau Kalio katakan.
“Nahkan bener..” ucap si mamang yang sibuk memasukkan telur gulung yang sudah siap ke dalam plastik. Sejujurnya keliatan banget kalau si mamang sengaja menggodanya. Buktinya adalah si mamang gak berhenti senyum-senyum, “Nih, telungnya udah jadi. Sana, cepetan atuh udah tungguin tuh sama si geulis.”
Spontan kepala Kalio menoleh ke belakang. Benar. Gadis dengan cardigan merah muda sudah berdiri di samping motornya. Lica tidak melihatnya karena posisi gadis itu membelakangi jalan raya. Dengan terburu-buru Kalio memberikan uang untuk membayar jajanannya dan tidak lupa berterima kasih dengan sopan kepada si mamang tukang Telur Gulung.
Ia menyebrangi jalan kembali menuju parkiran. Kurang dari jarak 7 meter Kalio memelankan langkahnya dengan sekantung Telur Gulung yang masih setia dipegang. Semakin dekat Kalio semakin memelankan langkahnya karena ia ingin mengagetkan Lica. Mungkin terhitung dalam hitungan 3 detik lagi Kalio akan melancarkan aksinya.
Satu…
Dua…
Ti…
Kalio tersentak hingga tubuhnya mundur beberapa langkah karena Lica tiba-tiba membalikkan badan. Jari jemarinya sedang mengusap mata yang terlihat memerah dan berair. Jelas saja itu membuat Kalio seketika panik.
“Caca!” lengan Kalio mengguncang tubuh Lica. Bola matanya ia gunakan untuk memastikan keadaan Lica dari atas sampai bawah apakah ia baik-baik saja atau tidak. “Ca, kenapa?”
Sial, ini yang Kalio cemaskan dari tadi. Kalio benci pada situasi ini. Ia lantas menarik tubuh Lica ke dalam dekapannya. Hanya itu yang bisa Kalio lakukan berharap bisa menyalurkan ketenangan untuk gadis itu.
“Puasin aja dulu nangisnya nggak apa-apa.” katanya seraya mengusap punggung Lica. Dagunya hinggap pada pucuk kepala Lica dan ia kembali mengerakkan dekapanya. “Gagal nggak apa-apa Ca, Lo udah ngelakuin yang terbaik.”
Lica melepaskan pelukan itu dengan gerak cepat. Dua kali Kalio dibuat terkejut dalam waktu berdekatan.
“Ca, usaha lo udah luar biasa. Nanti gue hadiahin terang bulan selama seminggu.”
“Lo kenapa?” tanya Lica tak mengerti situasi diikuti matanya merah dan berair.
“Seharusnya gue yang nanya itu.”
“Hah?”
“Lo kenapa nangis? Lo gagal? Lo nggak lolos?”
“Hah?”
“Lo keren, lo hebat, lo udah melakukan usaha terbaik dan berani mencoba. Jadi, jangan patah semangat, ya?”
“Hah?”
Lengan Kalio sudah berada di kedua bahu Lica, “Walaupun lo kaya manusia conge hah hah mulu, tapi gue nggak mau ngatain lo dulu, Ca. Karena gue tau lo lagi nggak baik-baik aja.”
“Lo kenapa?” kata Lica bingung, “Mending sekarang tiupin mata gue, ini kelilipan perih banget, Kal!”
Tubuh Kalio tersentak lagi untuk ketiga kalinya. Ekspresinya sudah tidak bisa dideskripsikan. Bibirnya terbuka lebar, tangan yang sebelumnya hinggap di bahu Lica terjatuh karena lemas.
Jadi, Lica hanya kelilipan?
Tolong, Kalio ingin kabur! Kemana pun asal sekarang dirinya nggak dihadapan Lica!
“Lo.. Nangis.. Kelilipan?”
“IYA WOY, PLEASE BANTU TIUPIN DULU INI MASIH PERIH.”
Tolong, Kalio mau menghilang.
Setelah meniupkan mata Lica dan gadis itu merasa mendingan. Kalio hanya berharap siapapun yang mendengar ucapannya beberapa menit lalu semoga hilang ingatan. Termasuk dirinya.
Kalio cepat-cepat memberikan helm kepada Lica tanpa menatap gadis itu. “Cepetan pake, gue lama banget nungguin lo.” hilang. Bukan dirinya yang hilang tetapi harga dirinya di depan Lica.
“Sabar!”
“Ya. Cepet.”
“Tadi lo kenapa?” Lica bertanya.
Kalio menggigit bibirnya menahan malu. Butuh beberapa waktu untuk dirinya membalikkan tubuh untuk beranikan diri menghadap Lica.
Oke Kalio, exhale… inhale. Batinnya.
Ia menajamkan alisnya, lalu bersedekap dada. Tatapannya berubah mengintimidasi, Lica. “Seleksi.”
“Hah? seleksi?” Lica semakin bingung.
“Tentang seleksi kenapa nggak cerita?” tanya Kalio dengan nada seperti orang ngambek. “Gibran tau, Praga tau, gue nggak tau apa-apa?”
“Lo marah?”
“Nggak marah.”
“Tapi itu kaya marah!” tudung Lica.
“Gue denger katanya lo ngasih tau temen-temen lo tapi kenapa gue nggak? Gue bukan temen lo?”
“Bukan.”
“Oke. Gue pulang.” pergerakan dirinya yang ingin menaiki motor ditahan Lica.
“Jadi lo marah???”
“Nggak marah. Berapa kali gue harus bilang kalau gue nggak marah.” tukasnya seraya memalingkan wajah menghindari kontak mata, “Kan gue bukan temen lo katanya.” tekannya pada kalimat akhir.
Tawa Lica menggelegar, “Ohhh… ada yang ngambek.”
“Nggak ngambek.” Tegas Kalio tak terima.
“Gue baru mau kasih tau lo hari ini.”
“Ya.”
“Bukan nggak mau kasih tau.. cuma gue malu kalau nggak lolos seleksi — ”
“Kenapa harus malu?” potong Kalio.
“Dengerin dulu!” kesal Lica, “Bukan malu, mungkin lebih ke.. gue nggak mau orang terdekat gue jadi melihat gue dengan tatapan kasihan karena gue gagal dalam mencoba. Lo tau seberapa exited gue bisa jadi bagian club Teater SMANDU.” jelasnya.
Lica menarik napas sejenak, “Terkadang gue cuma mau bawa kabar bahagia ke kalian. Mama, Yuan, dan… Lo.”
“Terus kenapa kalau lo gagal dalam mencoba?” Kalio mengunci tatapan keduanya. Gue juga mau tau apapun keadaan lo, Ca. Mau lo gagal ataupun nggak, gue nggak peduli. Kalimat selanjutnya hanya mampu terucap dalam dirinya.
“Gue malu.”
“Caca, mau lo berhasil atau gagal, lo nggak perlu malu. Hasil akhir adalah hasil terbaik atas usaha yang udah lo lakukan. Jadi, kenapa harus malu kalau gagal? Gagal bukan berarti lo harus stop sampai di sana, lo masih bisa bangkit dari sebuah kegagalan.”
“Gue tanya, lo gagal?”
Kepala gadis itu merunduk menatap sepatunya. Lalu ia menggeleng kecil, “Berhasil.” Lica mendogak kepala diiringi senyum yang perlahan mengembang.
Seperti ada magnet pada senyum Lica sampai Kalio tidak sadar juga turut melebarkan senyumnya. Entah, setelah mendengar bahwa Lica berhasil Kalio jadi merasa lega.
“Hadiahnya mana?”
“Nggak ada hadiah. Kan gue bukan teman lo.”
“Yailah masih aja ngambek.” gerutu Lica, “By the way, tumbenan lo jajan.” Lica melirik Telur Gulung yang tadi Kalio beli.
Kepala Kalio menunduk dan bola matanya ikut melirik Telur Gulung yang dipegangnya. “Buat lo aja.” katanya, setelah menegakkan kepala kembali.
“Asik dibeliin!”
“Gue beli untuk diri sendiri tapi sekarang udah nggak minat.” ucap Kalio, “Bukan sengaja ngebeliin lo.”
“Ngaku aja kalau lo bohong!”
“Nggak bohong. Anggap aja itu hadiah dari gue.” Kalio tak ingin ambil pusing.
“Apa-apaan hadiahnya cuma 10 tusuk telur gulung! yang bener aja!!!”
“Bersyukur sedikit apa susahnya, Ca.” Kalio berseru kesal.
“Yaudah kalau gitu affirmationnya mana?”
“Affirmation apaan?”
“Affirmation kaya.. Lo udah ngelakuin yang terbaik. Usaha lo udah luar biasa. Nanti gue hadiahin terang bulan selama seminggu. Lo keren, lo hebat, lo ud — ” Lica mengulangi semua yang Kalio ucapkan sebelumnya alih-alih untuk meledeknya. Tapi sayang Kalio langsung memotongnya karena dirinya tak sanggup untuk mendengar itu. Bahkan kuping lelaki itu sudah memerah hingga menjalar sampai ke pipi menahan rasa malunya.
“CACA LO PULANG SENDIRI NGGAK USAH BARENG GUE!”
Tolong Kalio benar-benar ingin menghilang sekarang juga!!!
— nadairry