9 Tahun lalu
Diumur Lica yang ke-8 ia selalu melihat teman-temannya kehilangan barang miliknya. Seperti halnya Ali yang kehilangan kucing, Hima yang kehilangan sepatunya, dan Kalio yang kehilangan mobil-mobilan miliknya. Saat kehilangan itu semua, Lica melihat Ali, Hima, dan Kalio menangis. Lica tidak tahu mengapa mereka menangis karena pikirnya itu semua bisa dibeli lagi. Akhirnya, karena rasa penasaraannya, Lica kecil memutuskan bertanya kepada Kalio mengapa ia menangis dan Kalio menjawab karena dia sayang mobil-mobilan itu.
Lica kecil mulai sadar bahwa selama ini ia tidak pernah kehilangan. Dan dirinya pun mulai bertanya, lantas apa yang akan menjadi kehilangan pertamanya nanti?
“Heh donat gula, kamu nggak mau ikut pulang mama kamu?” ujar Lica saat melihat kedua orang tua Kalio bersiap untuk pulang setelah menjenguk Papa-Nya yang saat ini berada di ruang ICU.
“Nggak mau, aku mau di sini aja sama kamu.”
“Baik banget, kalau gitu nanti beliin aku ice cream, ya?”
Kalio hanya mengangguk karena sebelumnya sudah dikasih uang oleh Papa jadi dia bisa membeli ice cream dan dirinya pun kembali fokus pada Puzzle yang dibawanya tadi, ia pikir Mama dan Papa mengajaknya untuk bermain bersama Lica.
“Papa kamu di dalem ngapain sih? kenapa kita nggak boleh masuk, ya?” Tanya Kalio kecil.
“Sakit dia. Kata Mama kritis. Kritis itu apa? Kamu tau artinya?”
“Kritis itu kaya nggak punya uang kalau nggak salah, soalnya suka denger Mama bilang lagi kritis uang Mama belanja terus. Apa salah denger ya? Nggak tau juga aku.”
“Ouh gitu, terus Papa kritis apa dong di dalam ICU…” kali ini Lica kebingungan, “Gak tau deh pusing.”
Sejujurnya Lica sudah kangen bermain dengan Papa. Tapi kata Mama, Papa-Nya sedang tidak bisa diajak main. Katanya, bisa main lagi kalau sudah sembuh. Tapi kapan?
Setiap seminggu 2 kali, Lica selalu ikut menemani Papa-Nya untuk ke Rumah Sakit. Papa bilang, dia mau cuci darah. Lica kecil yang saat itu masih polos dan ingin banyak tahu akhirnya mulai banyak bertanya. Memangnya darah bisa dicuci kaya baju?
Dan setelah melihatnya secara langsung, memang benar ada mesinnya, tapi Papa tidak ikut digiling. Hanya selang saja yang menyedot darahnya ke dalam mesin. Dari situ Lica sudah tidak penasaran lagi.
Kembali pada kedua anak kecil yang sibuk bermain Puzzle. Keduanya fokus menyusun sampai beberapa menit kemudian suasananya sedikit berubah ketika Alina — Mama Lica keluar dari ruang ICU dengan wajah yang sudah bercucuran air mata.
Alina berlari menghampiri Lica yang saat ini masih kebingungan melihat sang Mama menangis tersendu.
“Mama, Nggak papa? Mama habis dimarahin dokter?”
“Sayang… Papa sudah pulang.”
— — —
Pulang.
Satu kata yang Lica pikirkan, karena pulang yang saat ini terjadi agak sedikit berbeda. Semua orang yang datang ke rumahnya selalu berkata ‘Turut Berduka Cita dan semoga diberi ke tabahan.’
Memang benar Papa-Nya pulang, tetapi Papa hanya tertidur dengan ditutupi kain panjang. Setelah ia cium wajah Papa-Nya, hanya dingin yang terasa dan Papa sudah tidak bernapas. Papa, sudah tidak bisa diajak bicara lagi. Papa pulang, tetapi pulang ke Tuhan.
Di depan gundukan tanah, Lica duduk ditemani Kalio yang terus mengusap punggungnya. Entah mengapa, Lica baru merasakan sedih saat Papa mulai ditutupi tanah dan tidak bisa dilihat lagi wajahnya. Papa, berada di bawah sana dan Lica berada di atas sini.
“Ini rumah Papa yang baru ya Kalio?”
“Iya, tadi aku nanya ke Mamaku.” jawab Kalio polos. “Caca, kamu sedih? Nangis aja, aku waktu kehilangan mobil-mobilan aja nangis. Kamu kehilangan Papa pasti sedihnya lebih dari aku kehilangan mobil-mobilan.”
Kehilangan.
Benar, Lica baru mengingatnya.
Jadi, Kehilangan pertamanya adalah kehilangan Papa, ya?
Dulu Lica selalu berfikir bahwa yang hilang dapat dibeli lagi. Tetapi sekarang dirinya kehilangan Papa, di mana ia bisa membeli sosok Papa?
Bukankah orang tua tidak bisa dibeli lagi jika sudah hilang?
Papa cuma satu, yaitu, Papa.
“Kalio, aku sedih.” Kata Lica.
Kalio sedikit maju untuk memeluk Lica. Ia selalu diajarkan oleh Mama, bahwa jika ada yang bersedih, sebuah pelukan dari kita bisa saja mengobati sedihnya. Kalio harap pelukan yang diberikan kepada Lica dapat membuat Lica menjadi lebih tenang dan tidak sedih lagi. Kalio tidak tahu bagaimana membuat Lica supaya tidak sedih lagi. Mungkin nanti akan Kalio belikan Ice Cream sepuluh biji.
“Papa kamu udah seneng tau.”
“Memangnya, iya? Tau darimana?”
“Senenglah, kan udah nggak sakit lagi. Darahnya udah nggak dicuci lagi.” jelas Kalio dengan tersenyum kecil. “Cuci darah mulu juga capek, malah jauh lagi nggak bisa di rumah kaya cuci baju.”
“Kamu, selain kehilangan mobil-mobilan, pernah kehilangan apalagi?”
“Hmmm.. belum pernah lagi sih.”
“Yang penting jangan sampai kamu kehilangan Papa juga ya Kalio. Nggak bisa lihat Papa lagi ternyata sedih banget karena Papa nggak bisa dibeli pakai uang.”
Melihat kesedihan Lica yang terus menatap batu nisan Papa-Nya. Kalio jadi ikut sedih. Sejak itu, Kalio jadi ingin selalu bersama Lica, karena baginya kehilangan Papa sama saja kehilangan Hero yang menemani kita saat dewasa nanti.
Karena Lica sudah tidak punya Hero dihidupnya. Maka, Kalio kecil berjanji akan menjadi Hero untuk Lica.