Sejak kecil, saat di mana Kalio pertama kali bertemu Lica di Playground dan saat di mana dirinya sadar bahwa rumah keduanya bersebrangan, seiring bertumbuh dewasa Kalio berpikir bahwa ia dan Lica memang dipertemukan untuk selalu bersama-sama. Mungkin, saat di mana Lica berkata bahwa mereka seperti cakwe adalah benar adanya. Sebab setelah ditelaah, mereka memanh selalu berada di sekolah yang sama, bahkan keduanya pun terpisah hanya pada saat mereka menduduki kelas 8 SMP. Tandanya benar bahwa mereka selalu berduaan dan bersandingan seperti cakwe.
Sesuai dengan rencana yang sudah di list. Kalio benar-benar menepati janjinya untuk Lica. Janji bahwa ia hanya berada di rumah Eyang selama 5 hari dan janji bahwa ia akan mengikuti rencana yang ingin Lica lakukan saat Liburan tiba karena Lica pun sudah menepati janji untuk belajar dengan serius selama Ujian Tengah Semester berlangsung.
Kalio dan Lica sudah mendaftar untuk ikut workshop clay untuk mencoret rencana kedua dari beberapa hari yang lalu. Dan beberapa detik lalu keduanya baru saja tiba di tempat workshop diadakan. Letaknya di pertengahan ibu kota yang cukup ditempuh kurun waktu 30 menit saja.
Suasana tempat workshop diadakan di sebuah cafe yang desain interior minimalis dan mengikuti gaya cafe-cafe aesthetic yang sering ditemukan di Pinterst. Bahkan meski letaknya berdekatan dengan jalan raya, cafe ini cukup nyaman untuk ditempati dan tidak terganggu sama sekali dengan bisingnya kendaraan dijalan sana. Dari pengamatan Kalio 85% yang mengikuti workshop ini adalah perempuan dan 15% lainnya adalah laki-laki yang menemani pacarnya.
“Lo bisa buat apa dari clay?”
“Nggak bisa apa-apa. Baru pertama kali coba workshop ginian.” jawab Kalio jujur.
Di meja, tepatnya dihadapan kedua sudah ada bahan-bahan serta alat yang didapatkan dalam workshop. Hari ini mereka akan membuat gelas dari clay. Kalio sangat percaya diri karena pikirnya gelas adalah sesuatu yang mudah untuk dibuat. Ia pun tersenyum dengan penuh kesombongan. Lain dengan Lica, gadis itu trlihat biasa saja tetapi tak menutup ekspresi senang dan semangatnya saat mulai menyentuh clay.
“Gampang ini mah gue jago. Buat cangkir tinggal bolongin tengahnya doang.” kata Kalio dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi.
“Dih, emang boleh sombong gitu.”
“Boleh.” jawab Kalio tengil.
“Yaudah sok buat, dengerin juga tuh intruksi kakaknya biar bagus hasilnya.” ujar Lica lalu dia kembali fokus dengan clay miliknya.
Beberapa menit berlangsung waktu terus bertambah, detik demi detik terus bertambah, tetapi yang Kalio kerjakan tidak membentuk apapun. Berbeda dengan Lica yang mulai membentuk objek gelas meskipun belum jadi sempurna. Sial. Sepertinya Kalio menyesali tingkat percaya dirinya. Nyatanya sekarang dirinya ciut.
Lica belum menyadari bahwa Kalio sebenarnya tidak jago dalam hal kesenian. Kalio akui bahwa Lica memang berbakat dalam bidang ini.
“Dor!” Seseorang dari datang dari arah belakang, kehadirannya secara tiba-tiba jelas sekali itu membuat Lica terkejut. Tapi, Lica sangat familiar dengan suara tersebut.
“Lica lo di sini juga?” dia Praga. Seseorang yang baru saja mengageti Lica.
“Lohhh Praga????”
“Workshop juga? Sama siapa?” tanya Praga lalu duduk disamping Lica yang kebetulan sekali bangkunya kosong.
Kalio jelas sekali mendengar itu, refleks ia menunjuk diri sendiri dengan sebelah alisnya yang manaik. Memang kehadirannya tak kelihatan ya?
“Sama gue.”
Praga menoleh, “Oh... sama lo Kal datengnya, sorry nggak lihat tadi cuma keliatan Lica.”
“Lo ngapain, Ga?” tanya Lica ke Praga mengalihkan perhatiannya dari Kalio.
“Nemenin adek gue.”
“Ehhh mana?”
“Di depan, dia deket Mama.”
Bola mata Lica melebar terkejut, “Mama lo ikut juga?”
“Nggak sih…”
“Cuma nemenin juga, ya?”
Praga menggeleng untuk kedua kalinya, “Nggak juga.”
Lica yang sibuk merapihkan bentuk cangkir miliknya langsung memberhentikan aktivitasnya itu. “Terus ngapain?” katanya bingung.
“Yang ngadain workshopnya nyokap gue, Lica.” jelas Praga lalu terkekeh, ia menunjuk ke arah depan menggunakan dagunya, “Itu Mama.”
Telapak tangan Lica naik menutup mulut untuk menutupi keterkejutannya itu diikuti bola matanya yang melebar. “Serius?”
“Iya.”
Lica lantas memberikan tepuk tangan kecil, bahkan tepukan itu tidak menghasilkan suara tetapi tetap terasa bahwa Lica sedang mengapresiasi orang tua Praga. “Nggak nyangka, ternyata latar belakang keluarga lo berjiwa seni semua!”
“Nggak juga, Gue nggak kok.” jawab Praga cengengesan sambil menggaruk tengkuk kepalanya.
Antara Lica dan Praga sibuk berbincang sampai lupa bahwa di depan mereka masih ada Kalio yang saat ini sudah menahan kesal lantaran mereka berdua sibuk tenggelam bersamaan dengan percakapannya tanpa mengajak Kalio ke dalam pembicaraan tersebut. Bahkan keduanya tak sedikit pun menoleh ke arah keberadaan Kalio.
Adonan yang tadinya sudah mulai terbentuk gelas akhirnya kembali ia remas menjadi adonan clay yang seperti semula. Persetanan dengan itu, Kalio akan membuatnya lagi. Tapi nanti!
Kalio menangkap gerak-gerik Praga yang saat ini sedang mengerutkan dahi seraya melihat bentuk gelas buatan Lica.
“Gue pernah diajarin nyokap, katanya kalau mau tambah aesthetic lo bisa nambahin sedikit detail texture di claynya. Mungkin memang kelihatan berantakan untuk sebagian orang yang biasanya lebih suka halus atau mulus. Tapi balik lagi kalau itu seni sifatnya luas kok, sesuain sama imajinasi kita aja.” kata Praga memberitahu sedikit hal yang pernah ia pelajari dari sang ibu.
Lica mendengarkan dengan seksama dan terkadang turut menganggukkan kepalanya tanda bahwa dirinya paham akan penjelasan Praga. ‘Seni itu sifatnya luas.’ Lica setuju dengan apa yang Praga katakan tadi.
“Gimana caranya buat texture-nya, ditusuk-tusuk atau kaya gimana?” bingung Lica.
Praga bangun dari duduknya, “Gini..” ujar Praga yang sudah berdiri dibelakang Lica dengan tubuh agak membungkuk menyesuaikan Lica yang duduk, kemudian ia mulai menuntun Lica untuk mengikuti gerakan tangannya. “Asal aja… atau bisa juga gini — ”
Panas.
Bukan ruangannya yang panas, tapi hati Kalio yang panas melihat interaksi kedua orang dihadapannya. Entah mengapa Kalio merasakan ada hal yang menggebu di dalam dirinya, saat ia merasa kehadirannya benar-benar diabaikan oleh Lica dan Praga. Kalio tidak suka diabaikan dalam situasi seperti ini.
Tak tahan diabaikan, alhasil Kalio melempar bola clay yang sempat ia buat hingga mengenai kepala Praga. “Mending lo ajarin gue gimana bentuknya, Lagian punya Caca udah tinggal di cat.”
“Anjing, santai bjir jangan nakol. Kenapa nggak bilang kalo nggak bisa.” kata Praga sambil mengelus dahinya yang ke takol. Tidak sakit sih, cuma memang refleks saja seolah itu sakit.
“Gimana mau bilang kalo lo berdua aja asik berduaan?” ketus Kalio seraya bersilang dada.
“Bukan asik berduaan, kita ramean kan ini.” kata Praga sedikit bercanda.
“Tapi lo berdua asik berduaan.”
Praga menahan tawa hingga pipinya mengembung, “Lo cemburu, Kal?”
“NGGAAKKK????” jawab Kalio panik.
Tawa Praga pecah, padahal sudah keliatan Kalio cemburu karena dicuekin.